Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat seperti “Kamu harus kuat,” “Jangan sedih, semua akan baik-baik saja,” atau “Tetap positif, jangan menyerah.” Kalimat-kalimat ini mungkin terdengar menenangkan, tetapi tanpa disadari bisa menjadi beban bagi seseorang yang sedang mengalami kesulitan. Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity.
Sebagai perempuan, kita sering kali dituntut untuk selalu tegar, entah sebagai ibu, istri, anak, atau sahabat. Ada ekspektasi sosial bahwa kita harus mampu menghadapi segalanya dengan senyuman, padahal tidak semua situasi bisa dihadapi dengan sekadar berpikir positif. Perasaan sedih, kecewa, dan lelah juga valid untuk dirasakan.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah sikap yang menuntut seseorang untuk selalu berpikir positif dan mengabaikan emosi negatif, bahkan dalam situasi sulit. Meskipun niatnya baik, sikap ini dapat membuat seseorang merasa tidak bebas mengekspresikan perasaan mereka yang sebenarnya. Akibatnya, mereka bisa merasa diabaikan, tidak dipahami, atau bahkan merasa bersalah karena memiliki emosi negatif.
Mengapa Toxic Positivity Bisa Berbahaya?
- Mengabaikan Emosi yang Valid
Setiap orang berhak merasakan kesedihan, marah, atau kecewa. Jika emosi ini terus ditekan, bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. - Membuat Orang Merasa Sendirian
Saat seseorang bercerita tentang masalah mereka dan hanya mendapat respons positif tanpa empati, mereka bisa merasa diabaikan dan tidak dipahami. - Meningkatkan Tekanan Sosial
Perempuan sering kali merasa harus selalu ceria dan kuat agar tidak dianggap lemah. Namun, menutupi perasaan asli bisa menyebabkan stres berkepanjangan. - Mengurangi Kemampuan untuk Menyelesaikan Masalah
Dengan terus menekan emosi negatif, seseorang bisa kehilangan kesempatan untuk memahami akar masalahnya dan menemukan solusi yang lebih sehat.
Bagaimana Cara Menghindari Toxic Positivity?
- Berikan Ruang untuk Merasa
Izinkan diri sendiri dan orang lain untuk merasakan emosi negatif. Tidak apa-apa untuk tidak selalu merasa baik-baik saja. - Dengarkan dengan Empati
Alih-alih mengatakan “Kamu harus kuat,” coba ucapkan, “Aku mengerti ini sulit untukmu. Aku di sini kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan.” - Validasi Perasaan Orang Lain
Mengakui bahwa kesedihan dan kesulitan adalah bagian alami dari kehidupan dapat membantu seseorang merasa lebih dihargai dan didukung. - Berhenti Merasa Bersalah Karena Merasa Lelah
Sebagai perempuan, kita tidak harus selalu menjadi sosok yang sempurna. Tidak apa-apa jika merasa lelah, butuh istirahat, atau ingin menangis. - Cari Dukungan yang Tepat
Berbicaralah dengan orang yang bisa memberikan dukungan emosional tanpa menghakimi, seperti sahabat, keluarga, atau profesional jika diperlukan.
Menjadi positif itu baik, tetapi bukan berarti kita harus menekan perasaan negatif. Sebagai perempuan, penting bagi kita untuk mengenali dan menerima emosi yang kita rasakan tanpa merasa bersalah. Alih-alih menyebarkan toxic positivity, kita bisa lebih fokus pada dukungan yang nyata—dengan mendengarkan, memahami, dan memberikan ruang bagi diri sendiri serta orang lain untuk merasakan perasaan mereka dengan jujur. Dengan begitu, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara emosional bagi diri sendiri dan perempuan di sekitar kita.